Sabtu, 04 April 2015

BERPIKIR BENAR DAN BERTINDAK BENAR




Presiden Jokowi benar ketika mengatakan bahwa bangsa ini membutuhkan sebuah REVOLUSI MENTAL. Berbagai ketimpangan dalam hampir semua segi kehidupan bangsa ini. Hampir tidak ada yang memuaskan. Korupsi, diskriminasi, manipulasi, pelecehan seksual, kekerasan, hanyalah beberapa fenomena eviden saat ini. Semua komponen bangsa, aparat pemerintah, rakyat, dan bahkan media sepertinya tidak ada yang mau ketinggalan untuk ambil bagian dalam gangguan mental akut ini. Seolah, semuanya sepakat untuk merasakan bagaimana nikmatnya bermental rusak demi tercapainya kepentingan dan nafsu pribadi atau kelompoknya.

Kerusakan mental seolah-olah dijadikan sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang kurang bagus, hukum positif yang kurang tegas, pengawasan dari instansi negara ataupun agama yang kurang melekat, atau karena tingginya tuntutan hidup, namun terutama karena mental aparatur dan rakyat yang tidak terpuji. Kerusakan mental tidak akan pernah dapat diatasi dengan memperbaiki sistem pengawasan, memperberat hukuman, atau memperbaiki kesejahteraan dengan upah yang layak. Selama mental masih rusak, sistem sebaik apa pun, pengawasan seketat bagaimana pun, upah setinggi langit, atau hukum sekeras baja, maka itu hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Mungkin bisa sedikit meredam untuk sementara waktu. Namun, fenomena-fenomena di atas akan terus menjadi bahaya laten yang mengancam bangsa ini.

Revolusi mental pertama-tama menuntut perubahan cara berpikir dan cara bersikap atau bertindak. Keduanya harus menjadi satu kesatuan dan tidak boleh terlepas. Pada tahap pertama, orang tentu mesti dapat berpikir benar, dan kemudian harus diikuti dengan tindakan yang benar. Yang dimaksud dengan berpikir benar pertama-tama bukanlah yang berkaitan dengan kemampuan intelektual atau teknis, tetapi terutama yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika.

Mental yang baik hanya akan tercipta bila orang berpikir benar dan bertindak benar. Berpikir benar saja tidak cukup, sebab berpikir saja tanpa tindakan nyata tidak akan membawa manfaat. Demikian pun, bila hanya tindakan yang benar tanpa dilandasi cara berpikir yang benar, maka tindakan tersebut hanyalah sebuah kebetulan semata yang bisa berubah-ubah sesuai dengan mood si pelaku. Sebagai rational being, pikiran yang benar harus menjadi dasar bagi tindakan yang benar.

Problem mental bangsa ini justru terjadi karena adanya kesenjangan antara pikiran dan tindakan. Apa yang ada di dalam pikiran tidak diimplementasikan ke dalam tindakan. Sudah banyak sekali, bahkan jauh lebih banyak, orang yang dapat berpikir benar dibandingkan yang tidak dapat berpikir benar. Bahkan setiap pribadi yang sehat semestinya telah memiliki kapasitas kodrati (bawaan) untuk menentukan mana yang benar dan mana yang baik, serta mana yang tidak baik. Setiap pribadi yang sehat, termasuk golongan literasi (mampu membaca dan menulis atau melek aksara), tentu sadar bahwa mencuri (korupsi) itu tidak baik. Setiap manusia dilengkapi dengan kapasitas mental, atau yang dalam bahasa agama disebut suara hati/hati nurani, yang menuntun dan mengarahkannya untuk menentukan mana yang benar dan tidak benar. Tetapi sekali lagi, problem utamanya bukan pada ketidakmampuan berpikir benar, tetapi ketidakmampuan mengimplementasikan pikiran yang benar tersebut ke dalam tindakan yang benar.

Sebagai ilustrasi, setiap manusia Indonesia, termasuk koruptor kelas kakap, ketika ditanya apakah korupsi itu baik, saya yakin hampir seratus persen akan kompak menjawab bahwa korupsi itu tidak baik. Lalu mengapa masih korupsi, kalau mengetahui bahwa itu tidak baik dan bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama? Mengapa pengetahuan yang benar bahwa korupsi itu tidak baik tidak diikuti dengan tindakan yang benar untuk tidak korupsi?

Plato, seorang pemikir Yunani kuno, menyebutkan ada tiga daya alami yang mempengaruhi manusia: akal budi, emosi, dan hawa nafsu. Kebajikan atau keputusan yang benar hanya dapat tercapai apabila akal budi mampu mengekang emosi dan hawa nafsu. Ketika akal budi mampu mengekang hawa nafsu maka akan timbul kebajikan mawas diri (temperance). Orang yang mawas diri adalah orang yang dapat menjaga harga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang rendah. Ketika akal budi dapat mengekang emosi, maka akan muncul keberanian dan semangat (courage) atau passion dalam menjalankan aktivitasnya. Berkaitan dengan emosi yang tidak terkontrol, ada sebuah adagium: “yang berawal dengan kemarahan, akan berakhir dengan rasa malu”. Ketika akal budi mampu mengontrol emosi dan hawa nafsu, maka akan  muncul kebijaksanaan (wisdom). Orang yang bijaksana adalah orang yang mampu mengambil keputusan-keputusan tepat dalam setiap situasi. Selain tiga kebajikan tersebut, masih ada kebajikan terakhir, yaitu keadilan (justice). Manusia dapat berbuat adil apabila ia mampu mengatur dan mengolah ketiga daya alami: akal budi, emosi, dan hawa nafsu secara baik. Manusia tidak akan pernah dapat berbuat adil terhadap sesamanya selama masih dikuasai oleh emosi dan hawa nafsu.

Selain tiga daya alami yang disebutkan Plato, mungkin bisa kita tambahkan hati nurani atau suara hati. Suara hati dapat menjadi pemandu yang baik bagi akal budi, terutama ketika akal budi mulai kehilangan kontaknya dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Hati nurani menjadikan keputusan akal budi, bukan saja lebih beradab, tetapi juga dapat menyelaraskannya dengan ajaran agama dan moral seseorang.

Dari pemikiran Plato tersebut, pertanyaan tentang kesenjangan berpikir benar dan bertindak benar bisa terjawab secara singkat dan sederhana: akal budi manusia Indonesia masih dikuasai emosi dan hawa nafsu. Problemnya, insting kingdom animalia masih amat kuat dan dominan dalam pengambilan keputusan. Nafsu pribadi dan kelompok, emosi (rasa suka tidak suka, perasaan sesuku, seagama, seras) lebih sering menang dan dapat meredam kemampuan berpikir baik dan benar dalam mempengaruhi tindakan. Tidak heran, meski jawabannya singkat dan sederhana, namun pemecahannya terasa begitu rumit untuk bangsa ini.

Revolusi Mental ala Plato berarti mengembalikan dominasi akal budi dan hati nurani atas nafsu dan emosi. Revolusi Mental pada tempat pertama harus ditujukan pada diri sendiri, yaitu dengan mempertanyakan secara terus menerus keselarasan antara pikiran dan tindakan. Apabila terjadi ketidakselarasan antara keduanya, maka sudah saatnya untuk mulai mengolah dan mengontrol emosi dan hawa nafsu. Ketika seseorang merasa memiliki harga diri untuk tidak melakukan hal-hal kotor dan keji (korupsi, manipulasi, diskriminasi, dll), atau keputusannya adil dan bijaksana tanpa didasari kepentingan emosional tertentu, maka selamat! Anda termasuk orang-orang bermental baik di negeri ini.
(Sumber: KOMPASIANA)

Baca: ILMU BERSIKAP POSITIF





Salam Sejahtera & Sukses Selalu!

Drs. Johanes Budi Walujo
HP: 0811.2332.777
WA: 081.809.271.777
BB: 28C2CEC2 / 52B90B35
Instagram: johanes_budi_walujo
Twitter: @johanesbudi_w
Website: SEMANGAT - Kampus Kehidupan