Minggu, 11 September 2011

DI MANA ADA CINTA, DI SANA TUHAN ADA




Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada adalah judul sebuah buku karangan Leo Tolstoy...

Buku itu memuat lima cerita terbaik Leo Tolstoy, sastrawan besar Rusia, yang bertema cinta spiritual—di mana mengasihi sesama adalah kebajikan mulia dan hanya melalui pengabdian tulus kepada sesamalah manusia bisa meraih kebahagiaan sejati.

Cerita pertama yang menjadi judul buku ini mengisahkan seorang tukang sepatu yang kecewa kepada Tuhan karena anaknya mati. Namun, pada masa tuanya ia terpanggil untuk kembali ke jalan lurus dan bercita-cita bertemu Tuhan. Dalam mimpinya, ia diperintahkan Tuhan agar melongok keluar jendela jika ingin bertemu dengan-Nya. Ternyata esoknya yang ditemuinya adalah orang-orang malang yang hidup dalam kesusahan. Karena belas kasih, dengan tulus ia menolong mereka. Barulah ia sadar bahwa sesungguhnya Tuhan memerintahkannya agar berbuat baik kepada sesama jika ingin “bertemu Tuhan”.


Demikian cuplikan cerita pertama dari buku tersebut:

Di kota itu tinggal Martin Avdeich, seorang perajin sepatu. Dia tinggal di sebuah ruang bawah tanah yang memiliki hanya satu jendela. Jendela itu menghadap ke jalan. Dari jendela itu dia bisa mengawasi orang lalu lalang meskipun hanya kaki mereka saja yang terlihat. Namun, dari sepatu mereka Martin bisa mengenali siapa pemakainya. Ia sudah tinggal amat lama di tempat itu dan sudah bertemu dengan banyak orang. Beberapa pasang sepatu di lingkungannya tidak hanya satu dua kali saja ditanganinya. Sebagian di antaranya pernah ia ganti solnya, sebagian ia tambal, sebagian ia jahit sekelilingnya, dan kadang-kadang ia juga mengganti baru bagian atas sepatunya. Dan lewat jendela kaca itu ia sering mengenali hasil karyanya.

Banyak yang harus dikerjakan oleh Martin karena ia perajin yang setia. Ia selalu menggunakan material yang bagus, tidak pernah melebih-lebihkan harga, dan jujur menjalankan apa yang diucapkannya. Jika ia dapat menyelesaikan pekerjaan dengan tenggat waktu tertentu, ia akan melakukannya. Jika tidak, ia tidak akan menipu, ia akan mengatakan kepada pelanggan sebelum menggarapnya. Semua orang mengenal Martin, dan ia tak pernah tidak bekerja.

Martin selalu menjadi orang yang baik; tetapi saat ia beranjak tua, ia mulai berpikir jauh tentang jiwanya, dan menjadi lebih dekat pada Tuhan. Istri Martin meninggal ketika ia masih tinggal dengan majikannya. Istrinya meninggalkan seorang bocah lelaki berusia tiga tahun, bernama Kapiton. Anak mereka yang lain tidak ada yang hidup. Semua anak yang lebih tua sudah meninggal sejak masih kanak-kanak. Awalnya Martin berniat mengirimkan bocah lelakinya kepada adik perempuannya di desa, tetapi ia kemudian merasakan kasihan kepada putranya itu. Ia berpikir sendiri, "Akan berat sekali bagi Kapiton-ku jika tinggal di sebuah keluarga asing. Aku akan membesarkannya sendiri."

Kemudian Martin meninggalkan rumah majikannya, dan menyewa sebuah tempat dengan bocah lelaki kecilnya. Namun, atas kehendak Tuhan, Martin tidak beruntung dengan anaknya. Saat Kapiton tumbuh lebih besar, ia mulai membantu ayahnya, dan itu menyenangkan baginya, tetapi kemudian ia jatuh sakit, beristirahat di tempat tidur, merana selama seminggu, lalu meniggal dunia. Martin menguburkan putranya dan jadi berputus asa. Begitu terpuruknya ia hingga mulai mengeluh kepada Sang Pencipta. Martin jadi sangat melankolis hingga lebih dari sekali ia berdoa agar Tuhan menghentikan hidupnya. Ia juga mengomel kepada Tuhan karena Tuhan tidak mengambil nyawanya yang seorang tua bangka daripada mengambil nyawa putra satu-satunya yang tercinta. Martin lalu berhenti pergi ke gereja.

Suatu kali seorang lelaki tua berperawakan kecil, yang berasal dari desa, datang dari Biara Trinitas untuk menjenguk karena selama tujuh tahun ia tak pernah datang lagi ke gereja. Martin bicara kepadanya dan mulai mengeluhkan kepedihan hidupnya.

"Aku sudah tak ingin hidup lagi," keluhnya. "Aku hanya ingin mati. Hanya itu yang kupinta kepada Tuhan. Aku seorang lelaki yang tak punya harapan apa pun kini."
Dan lelaki tua berperawakan kecil itu berkata kepadanya, "Kau berkata ngawur, Martin. Kita tidak seharusnya menilai apa yang dilakukan Tuhan. Dunia ini berputar, bukan oleh keahlianmu, melainkan atas kehendak Tuhan. Tuhan berketetapan anak lelakimu meninggal dunia, dan kau tetap hidup. Mungkin memang itulah yang terbaik. Dan kini malah kau berputus asa karena kau ingin hidup untuk kebahagiaanmu sendiri."
"Memang untuk apakah seseorang hidup?" tanya Martin.
Dan si lelaki kecil menjawab, "Kita harus hidup untuk Tuhan, Martin. Tuhan yang memberimu hidup, dan demi kuasa-Nya-lah kau hidup. Ketika kau mulai hidup untuk-Nya, kau tidak akan berduka atas apa pun, dan segalanya akan terasa mudah bagimu."
Sejenak Martin terdiam, kemudian ia berkata, "Tetapi bagaimanakah orang dapat hidup demi kuasa Tuhan?"

Baca: CATATAN DARI MOTHER THERESA





Salam Sejahtera & Sukses Selalu!


Drs. Johanes Budi Walujo
HP: 08112332777
WA: 081919132777
Instagram: johanes_budi_walujo
Twitter: @johanesbudi_w